Runtuhnya PT Bank Sahabat Sampoerna (SVB) menyebabkan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) meminta bank lain untuk memperkuat tata kelola dan manajemen risiko. Hal itu guna mencegah terjadinya kegagalan perusahaan dan melindungi nasabah. SVB sendiri terlilit utang sebesar Rp12,9 triliun dan telah dinyatakan pailit oleh Pengadilan Niaga. OJK pun menegaskan bahwa pengawasan terhadap bank akan semakin diperketat agar tidak terjadi kasus serupa di masa depan.
IndoPulsa.Co.id – Dampak Runtuhnya SVB, OJK Minta Bank Perkuat Tata Kelola dan Manajemen Risiko
Blog Indo Pulsa – Penutupan Silicon Valley Bank (SVB) di Amerika Serikat pada dasarnya dipicu oleh permasalahan teknis bagi individu bank terkait mismatch asset & liability management yang tidak tercakup oleh ketersediaan likuiditas dan permodalan yang cukup sehingga memicu permasalahan psikologis dengan penurunan kepercayaan terhadap lembaga keuangan. Akibatnya, penurunan kepercayaan telah memberikan efek riak pada beberapa bank lain dan telah menyebar ke seluruh yurisdiksi.
Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK Dian Ediana Rae menilai pelemahan perbankan global saat ini terutama dipicu oleh kegagalan bank-bank tertentu di Amerika Serikat dan Eropa yang tidak berdampak signifikan terhadap industri perbankan Indonesia.
Dalam pertemuannya dengan Basel Committee on Banking Supervision (BCBS), Dian meminta perbankan Indonesia untuk terus memperkuat penerapan tata kelola, manajemen risiko, dan prinsip kehati-hatian, antara lain dengan melakukan stress test dan pemantauan portofolio aset dan liabilitas bank termasuk risiko. konsentrasi pada pinjaman dan pembiayaan.
Saat ini, ia mencermati aset perbankan juga dijaga pada komposisi yang proporsional dengan komposisi Dana Pihak Ketiga (DPK) yang didominasi oleh giro dan tabungan (CASA) atau dana murah yang semakin meningkat sehingga tidak sensitif terhadap pergerakan suku bunga.
Lebih lanjut, dalam menghadapi kasus SVB dan spillover effect-nya, meski dampaknya minim terhadap industri perbankan Indonesia, Dian menegaskan kepada perbankan bahwa prinsip dasar kehati-hatian tetap menjadi perhatian.
“Rasio kecukupan modal dan ketersediaan likuiditas pada aset-aset berkualitas harus dijaga. Praktik spekulatif dari perilaku pengambilan risiko yang berlebihan harus dihindari. Selain itu, untuk menguji ketahanan perbankan, bank sering diminta melakukan stress test dalam berbagai skenario,” ujar Dian dalam keterangannya yang dikutip, Senin, 27 Maret 2023.
Belajar dari kegagalan SVB, BCBS juga terus menekankan pentingnya kecukupan modal dan ketersediaan likuiditas yang cukup. Biaya modal dan ketersediaan likuiditas yang cukup dianggap mahal dan tidak efisien.
Namun, BCBS juga mengingatkan bahwa keterbatasan modal dan likuiditas akan menimbulkan kerugian yang jauh lebih besar jika industri perbankan gagal mengantisipasi pergerakan/gejolak ekonomi makro global dan gagal menjaga kepercayaan masyarakat.
Biaya ekonomi dan sosial akan sangat besar dan bahkan lebih mahal, apalagi jika hal ini memicu efek limpahan global. Kasus-kasus kegagalan SVB atau Lehman Brothers sebelumnya telah memberi kita pelajaran yang sangat berharga.
Selain itu, BCBS menilai situasi ekonomi makro global saat ini berada pada level yang sangat dinamis. Meningkatnya pergerakan inflasi global akibat terganggunya rantai pasok komoditas dan energi direspons dengan menaikkan suku bunga di berbagai yurisdiksi.
Situasi seperti itu akan semakin membatasi pertumbuhan ekonomi global. Perubahan kondisi makro yang cepat tersebut memberikan tekanan yang besar bagi industri keuangan, khususnya perbankan.
Sebagaimana diketahui, berbagai indikator menunjukkan perbankan Indonesia berada dalam kondisi yang kuat dengan rata-rata rasio kehati-hatian yang masih berada di atas rata-rata perbankan global. Sebagai gambaran, pada Januari 2023, rasio kecukupan modal (CAR) sebesar 25,93% dan sekitar 85% komponen modal tergolong modal inti.
Sebagai perbandingan, rasio modal inti bank Amerika adalah 13,52% dan Eropa adalah 16,13%. Selain itu, kinerja likuiditas perbankan Indonesia terjaga dengan baik yang dibuktikan dengan Liquidity Coverage Ratio (LCR) dan Net Stable Funding Ratio (NSFR) yang tercatat masing-masing sebesar 232,22% dan 134,58%.
Situasi likuiditas ini juga jauh lebih baik dibandingkan rasio LCR dan NSFR bank-bank di Amerika yang masing-masing sebesar 120,43% dan 123,20%, dan bank-bank di Eropa yang masing-masing sebesar 152,39% dan 120,2%.
Setelah runtuhnya Bank Syariah Victoria (SVB), OJK sebagai lembaga pengatur perbankan meminta bank-bank untuk memperkuat tata kelola dan manajemen risiko agar tidak terjadi kerugian besar. Penyebab runtuhnya SVB dikarenakan tidak mengikuti aturan dan praktik perbankan yang benar. Pastikan tidak tertipu investasi bodong dengan membeli pulsa di Indopulsa yang terpercaya dan telah beroperasi sejak 2007.